Hubungan Persepsi Kekerasan Psikologis Dalam Keluarga Dengan Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja

Posted by Admin | | Posted on 10.24

Hubungan Antara Persepsi Mengenai Kekerasan Psikologis Dalam Keluarga Dengan Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja


Adanya kekerasan psikologis dalam keluarga yang berupa kekerasan verbal dan terrorizing / mengancam anak yang dilakukan oleh orang tua dapat menyebabkan remaja melakukan agresi verbal terhadap orang tuanya dan juga orang lain. Menurut Berkowitz (1995) kepribadian yang sangat agresif biasanya merupakan hasil pengaruh negatif yang terus-menerus. Pengaruh negatif yang terus-menerus ini berasal dari lingkungan keluarga dimana seorang remaja tumbuh dan berkembang dari lahir sampai dengan dewasa. Analisis Patterson (Berkowitz, 1995) mengatakan bahwa banyak anak pada dasarnya terlatih untuk bertindak agresif melalui interaksi dengan para anggota keluarga yang lain, baik interaksi dengan orang tuanya maupun saudaranya yang lain. Dengan kata lain kekerasan psikologis yang terjadi di dalam keluarga yang berupa kekerasan dengan bahasa verbal dan perbuatan yang mengancam tersebut baik itu dilakukan orang tua terhadap anak maupun antar pasangan suami istri dapat mengajarkan remaja untuk bertindak agresif dalam kehidupan sehari-harinya, baik itu di lingkungan keluarganya maupun interaksi dengan teman-temannya. Hal ini berdasarkan teori belajar sosial yang menjelaskan bahwa remaja akan mengobservasi dan meniru kekerasan yang terdapat di lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan keluarga.

Ketika remaja menjadi korban dari kekerasan atau melihat kekerasan dalam keluarganya maka remaja akan cenderung meniru kekerasan tersebut, sehingga ketika berhadapan dengan situasi yang membuat remaja stress atau tertekan remaja akan mengadopsi strategi untuk menghadapi situasi tersebut berdasarkan observasinya di lingkungan keluarganya yang penuh dengan kekerasan dan remaja akan memakai kekerasan juga dalam menghadapi situasi yang menekan tersebut dengan cara berperilaku agresif. Hal ini terjadi karena ketika remaja menjadi korban dari kekerasan atau melihat kekerasan itu sendiri, remaja akan membawa kekerasan dan agresi tersebut dalam hubungan sosialnya, dalam hal ini adalah interaksinya dengan teman-temannya (Anooshian, 2005).

Apabila ada teman-temannya yang membuatnya marah maka remaja tersebut akan cenderung melakukan agresi verbal yang sudah ditirunya dari lingkungan keluarganya yang melakukan kekerasan tersebut baik terhadap remaja tersebut maupun antar pasangan suami istri, agresi verbal itu sendiri misalnya dengan berteriak, menjerit, memekik, memaki, atau memanggil temannya dengan sebutan yang tidak baik. Berdasarkan penelitian dari Averill (Sears, 1991) ditemukan bahwa apabila ada orang lain yang membuat marah dengan melakukan agresi verbal terhadap dirinya maka di dalam diri orang tersebut akan terjadi dorongan untuk bertindak agresif yaitu agresivitas verbal atau simbolik (82 %) dan benar-benar ingin bertindak agresif (49%).

Adapun kekerasan psikologis dalam keluarga yang berupa eksploitasi, isolasi, dan dominasi dapat menyebabkan remaja melakukan agresi fisik. Remaja yang telah terbiasa dengan isolasi, dominasi, dan eksploitasi; misalnya dengan pemukulan yang dilakukan oleh orang tuanya akan menyebabkan remaja tersebut terdorong untuk melakukan agresi karena menurut teori tentang frustasi-agresi bahwa frustasi akan menghasilkan perilaku agresivitas. Teori ini berkeyakinan bahwa agresi tidak akan muncul tanpa didahului oleh frustasi. Frustasi dapat terjadi apabila kebutuhan biologis (seperti; makanan, minuman, sex, dan tidur) dan kebutuhan sosial (seperti; penghargaan, cinta, dan rasa aman) dihalangi untuk dipuaskan atau mendapatkan campur tangan dari orang lain untuk mendapatkan kepuasan tentang kebutuhan tersebut. Apabila kebutuhan remaja akan kasih sayang tidak terpenuhi dengan baik, contohnya saja; remaja selalu diperlakukan kasar oleh orang tuanya dan tidak pernah diberi kasih sayang dan perhatian maka akan membuat anak menjadi agresif.

Apabila remaja secara terus-menerus dari kecil sampai dengan remaja diperlakukan kasar oleh orang tuanya maka akan mendorong keinginan remaja untuk berperilaku agresif, karena menurut Berkowitz (1995) kehidupan masa kecil sangat menentukan seberapa mudah dan seringnya seseorang melakukan penyerangan ketika merasa ditantang atau terancam. Sebagai contohnya adalah seorang remaja walaupun hanya menyaksikan orang dewasa yang tidak dikenalnya marah satu sama lainpun bisa mendorong remaja tersebut untuk saling memukul, menendang, dan mendorong, sehingga apabila remaja melihat pertengkaran orang tuanya atau merasakan sendiri kekerasan tersebut akan membuat remaja lebih terganggu dan menjadi lebih agresif (Berkowitz, 1995). Kemudian remaja akan mempersepsikan bahwa kekerasan yang dilihat dan dirasakannya tersebut adalah sebagai cara untuk melindungi diri dari bahaya atau situasi / lingkungan yang membuatnya stres, sehingga remaja akan berperilaku agresif untuk menghadapi situasi yang mengancam dirinya (Anooshian, 2005).

Jadi dapat dikatakan bahwa remaja cenderung berperilaku agresif karena seringnya mengalami kekerasan psikologis dalam keluarganya, misalnya kekerasan psikologis yang berupa isolasi, dominasi, dan juga eksploitasi oleh orang tuanya, dimana kekerasan psikologis tersebut mendorong insting agresif dalam diri remaja tersebut yang muncul dalam bentuk perilaku agresif.

Kekerasan psikologis dalam keluarga yang berupa kekerasan emosional dan penolakan orang tua terhadap anak dapat menyebabkan remaja melakukan agresi emosional. Hal ini dikarenakan penolakan orang tua dan kekerasan emosional yang dilakukan orang tua untuk melampiaskan emosinya kepada anaknya tersebut mengindikasikan adanya penolakan orang tua terhadap anaknya sehingga anak akan merasa bahwa orang tuanya tidak sayang padanya. Menurut Berkowitz (1995) penolakan orang tua jelas menyakitkan bagi seorang anak dan karenanya tidak mengejutkan jika banyak anak yang sangat agresif mempunyai orang tua yang dingin dan tak acuh. Berdasarkan penelitian dari McCord dan Howard, para Ibu dan Bapak dari anak-anak agresif tersebut pada umumnya kurang memberikan kasih sayang terhadap anaknya (Berkowitz, 1995).

Ketika remaja secara terus-menerus menerima perlakuan buruk dan penolakan dari orang tuanya maka remaja tersebut akan merasa sedih dan tertekan, seperti dikatakan oleh Berkowitz (1995) semakin seseorang merasa tertekan dan sedih maka bisa menyebabkan reaksi agresif, dengan kata lain ketika tekanan disimpan dalam diri seseorang dan orang tersebut tidak kuasa lagi menahan tekanan tersebut maka tekanan tersebut akan dilampiaskan melalui reaksi agresif.

Perlakuan buruk dan penolakan orang tua mengajarkan remaja untuk berperilaku agresif dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan bagi dirinya sehingga remaja akan melampiaskan emosinya yang merasa tertekan dengan melakukan agresi terhadap orang lain. Remaja akan mudah marah, mudah tersinggung, dan tidak sabaran, serta apabila ada hal yang tidak disukainya, remaja akan mudah emosi dan melakukan agresi, yaitu yang dinamakan agresi emosional. Dinamakan sebagai agresi emosional karena agresi ini terjadi karena adanya emosi yang tidak stabil dalam diri seorang remaja akibat perasaan tertekan karena mengalami kekerasan psikologis, kemudian hal ini dilampiaskan melalui perilaku agresif untuk melepaskan tekanan yang dialami remaja tersebut. Berdasarkan penelitian dari Hale (2005), didapatkan fakta bahwa orang tua yang menolak anaknya akan menyebabkan anak memiliki perilaku agresif dan perilaku menarik diri dari lingkungannya.

Comments (0)

Posting Komentar